Rabu, 03 Desember 2014

Saat Tabungan Jadi Nggak Relevan

Menabung pangkal kaya.. Itulah slogan bank saat itu, atau slogan dari ibuku supaya aku rajin menabung. Dan benar saja, terdoktrin, aku termasuk rajin menabung buta.  Kok bisa menabung buta? Kenyataanya meski aku sudah baca berbagai seri bukunya Robert T Kiyosaki yang bicara banyak tentang investasi, aku baru punya rekening  bank 2 tahun lalu. Itupun rekening abal-abal yang disebut rekening 'Tabunganku' . Kegiatan menabung buta itu kulakukan di dua media Celengan Bebek dan Ibu ku.

Setiap dapat uang lebaran, dan uang yang jumlahnya besar, selalu aku titipkan ke ibu ku. Tabungan ke wali kelas SD yang diambil tiap semesterpun akhirnya aku setor juga ke ibu. Katanya sih ditabung. Ini tabungan berbuntut tabungan lagi. Awalnya sih masih terhitung. Tapi lama-lama lupa. Nggak ada buku tabungannya pula. Sampai pada akhirnya, ibuku pun bilang uangnya sudah dipakai beli meja belajar, beli sepatu, beli seragam dan aneka keperluan sekolah lainnya. Padahal kan aku nggak minta. Keperluan sekolah sih nggak usah pakai uangku sendiri toh juga pasti dibelikan. Hiks..

Beranjak remaja, aku nggak pernah 'nabung' ke ibu lagi. Dihabiskan sendiri rasanya lebih berkesan 'ini yang aku beli sendiri'. Yang aku beli jelas bukan barang keperluan sekolah. Meski begitu barang keperluan sekolahku nyatanya juga tetap terpenuhi hehehe.
Itulah yang kusebut tabungan buta, tabungan tanpa buku tabungan, dan keluarnya nggak perlu tanda tangan atau password.


Media tabugan buta kedua adalah celengan bebek. Sebelum celengan bebek aku punya celengan kucing. Karena aku rajin menabung koin, celengan ini cepet penuh dan dipecahkan. Hasilnya lumayan, tapi aku lupa akhirnya dipakai beli apa. Apa keperluan sekolah juga? Mungkin...

Setelah pengalaman dengan celengan kucing yang cepat penuh, aku dibelikan lagi celengan bebek yang lebih besar. Mungkin maksudnya sekalian biar nggak cepat penuh. Saat itu, Akupun bertekat tidak akan membukanya sampai terisi penuh ke ujung cucuknya. Jelas nggak mungkin lah, memangnya uang cair. Tujuan supaya tidak cepet penuh tercapai. Bahkan sampai masa sekarang ini, perutnya saja baru separuh terisi. Akupun sudah lupa kapan terakhir menabung ke celengan bebek yang sudah berubah fungsi jadi penahan buku dan cantolan topi ini.

Minggu lalu, aku yang sedang mabuk bersih-bersih menemukan kembali celengan bebek yang terlupakan. Ku intip lobang uangnya, terlihatlah isinya yang uang jadul semua.   Akhirnya diliputi rasa penasaran, kumantapkan hati membuka celengan itu dibagian bokongnya. Keluarlah isinya yang sebagian besar uang seratus rupiah yang dari segi bahan dan ukuran sangat cocok untuk kerokan. Selain itu terdapat beberapa uang kertas, uang-uangan kertas dan beberapa batang lidi sebagai bukti usahaku mencongkel isi celengan keluar. Setelah ku pilah-pilah ternyata uang yang bisa ditransaksikan dari celengan yang beratnya kira-kira lebih dari 2 kg itu hanya 21 ribu. Sisanya adalah tumpukan koin - koin yang tidak laku.
Itulah yang kusebut tabungan buta, bisa masuk tapi tak bisa keluar, tanpa bunga, tanpa jaminan, tanpa saldo, tanpa sirkulasi. Tiba-tiba uang tidak laku saja.

Melihat tumpukan logam sebanyak itu mau diapakan? Aha, dijual saja, bukankah ada yang suka koleksi koin jadul? Kemudian terpikir, Dijual berapa? ku browsinglah harga-harga koin jadul di toko online. Gila, mahal - mahal ternyata. Paling murah 50 ribu, bahkan ada yang sampai jutaan per lembar atau kepingnya. Gila kalau ada yang mau beli. Lalu aku cari sumber lain, ternyata nggak semahal itu. Di blog penyedia uang kuno untuk jadi mahar, harga ratusan ribu sudah tersedia, itu pun sudah paketan, bukan satuan.
Karena tidak jelas patokan harganya, ya sudah aku buat patokan sendiri saja dengan berdasarkan harga es wawan. Ha!! Es Wawan?? Ya, es wawan, jajanan masa kecil yang sangat responsif terhadap inflasi. Aku mulai mengisi celengan saat es wawan harganya masih 25 rupiah. Kemudian merasakan kenaikan harga es wawan sampai level 1000 rupiah. Lalu es tersebut mulai menghilang di pasaran jajan anak sekolah. Sekarang harga es wawan di salah satu toko online sudah mencapai 2500 rupiah. Artinya ada peningkatan harga 100 kali lipat. Waw..
Berdasarkan harga es wawan dan penyesuaaian lainnya, akhirnya saya lepas uang kuno yang sudah dicuci, dikeringkan, dianginkan, dipilih dan diwadahi plastik dengan harga sebagai berikut :

Uang logam kuno Rp 100 nickel, bergambar rumah adat, emisi 1973 (Rp 15000) Emisi 1978 (Rp 10000) - per koin

Uang logam kuno Rp 25 alumunium, bergambar buah pala. Rp 5000 - per 2 koin

Uang logam kuno Rp 50 kuningan, bergambar komodo. Rp 5000 per 2 koin

Uang logam kuno pecahan 100 kuningan, bergambar kerapan sapi. Rp 10000 - per 5 koin

Uang logam kuno pecahan Rp 50 nickel, bergambar burung cendrawasih. Rp 10000 per koin

Uang logam kuno Rp 25 nickel, bergambar burung. Rp 10000 per koin

Uang kertas kuno Rp 5000, bergambar sasando. Rp 50000 per lembar

Uang kertas kuno Rp 500, bergambar orang utan. Rp 10000 per lembar

Iklan di atas juga sudah dipasang di beberapa toko online. Yang serius berminat bisa menghubungi via line : rosa.mediansari, wa : 081559823888, twitter: @rosaning13, facebook : Rosaning Harum Mediansari (I am an open minded person :D )
Mohon maaf kalau ada yang membaca  tulisan ini lalu merasa tertipu karena akhirnya tulisan ini jadi jualan. Jeongmal Mianhaeyo *90o bow*

Supaya nggak merasa ketipu banget saya simpulkan sedikit, bahwa  menumpuk uang bukan tindakan bijaksana. Uang tidak bisa beranak dengan ditumpuk saja. Uang tidak lebih dari kertas yang dipercaya punya nilai. Kalau sudah tidak dipercaya lagi, hanya jadi onggokan kertas atau koin yang tidak laku. Sementara itu, nilai akan terus berubah dan sayangnya di Indonesia kebanyakan berubah turun.

Sebagai bonus untuk yang mau membaca: Buat kamu yang ngaku teman, sahabat atau keluarga, saya masih punya stok koin sortiran yang bisa kalian dapatkan gratis, kalau berminat. Tapi maaf sudah hitam karena terlalu banyak buat kerokan hehehe

1 komentar:

  1. masih ada aja itu uang jaman dulu

    http://www.marketingkita.com/2017/08/wilayah-pemasaran-dalam-ilmu-marketing.html

    BalasHapus