Nilai yang diturunkan
dalam keluarga, menjadi dasar cara berpikir. Dalam mendidik anak dan
menjalankan sistem rumah tangga setiap keluarga memiliki ciri khas
masing-masing, ada positif dan negatifnya. Salah satu nilai positif yang bisa
diambil dari cara papa dan mama menjalankan rumah tangga adalah tentang
emansipasi dan kesetaraan gender.
Kesetaraan gender menurut
saya bukan soal kerja, mencari nafkah apalagi bertukar peran. Kesetaraan gender
lebih tentang mimpi dan aktualisasi diri. Bukankah setiap orang, laki-laki dan
perempuan berhak bermimpi dan memenuhi kebutuhan tertingginya yaitu aktualisasi
diri? Apa wanita boleh juga menggantungkan cita-cita setinggi langit, dan
mencapainya, tanpa dibatasi ‘kamu kan perempuan’. Kebetulan saja mimpi itu
banyak yang profesi atau pekerjaan. Selama ini saya berpikir kesetaraan gender
yang ada di rumah saya normal dan biasa saja, sampai saya menyadari, melihat
kenyataan bahwa banyak laki-laki dan juga perempuan tidak berpikir dan berkomitmen
seperti papa dan mama saya.
Dalam salah satu drama
korea yang menggambarkan perjuangan sehari-hari dalam karir kantoran pada
umumnya (Misaeng / incomplete life). Para pekerja perempuan sering mendapat
perlakuan yang kurang menyenangkan dari rekan kerja karena dianggap perempuan
kurang loyal dibanding laki-laki, menyusahkan karena lemah, hamil, melahirkan
sehingga harus cuti dan membebani rekan kerja. Oleh masyarakat dan ibu mertua
dianggap tidak bertanggung jawab terhadap rumah dan anak. Semua beban pekerjaan
rumah tangga dan anak secara otomatis dibebankan pada istri. Sehingga istri
jadi overwork. Jika suami sebagai partner juga tidak mendukung mimpi dan proses
aktualisasi dirinya, mau bergantung kemana lagi seorang wanita?
Kesetaraan gender bermula
dari mimpi. Dua individu pastinya punya mimpi masing-masing. Mereka bertemu dan
berkomitmen membangun rumah tangga. Ternyata mereka sama-sama memiliki mimpi
yang terkait dengan pekerjaan. Semua ingin bekerja membangun karir. Setelah
dipikir-pikir mimpi mereka tidak saling bertolak belakang sehingga tidak ada
alasan menggugurkan mimpi yang satu demi yang lain. Jadi keduanya berhak
mewujudkan mimpinya. Contoh mimpi yang bertolak belakang misalnya yang satu
ingin kuliah di luar negeri dan yang satu ingin mengabdi di pedalaman
Indonesia.
Setelah membangun rumah
tangga, di rumah tentu banyak juga pekerjaan yang harus diselesaikan. Jika
semua dikerjakan istri atau suami, tidak cukup waktu baginya mewujudkan
mimpinya, atau pekerjaan rumah tangga dan karir jadi selesai tidak maksimal. Kepala
rumah tangga akhirnya berkebijakan membagi pekerjaan rumah tangga agar semua
punya cukup waktu mewujudkan mimpinya dan semua pekerjaan selesai maksimal.
Dengan mempertimbangkan minat, keahlian dan beban kerja akhirnya diputuskan siapa
yang memasak, mencuci piring dan baju, menyetrika, menyapu dan lain sebagainya.
Perlu diingat bahwa sebelum menikah semua orang bisa melakukan semua itu
sendiri untuk diri sendiri. Setelah menikah mereka melakukan untuk berdua
bahkan sampai dengan berlima tapi dengan pilihan spesialisasi. Saya dapat
pahala dari memasak, saya lebih teliti dalam bersih – bersih, saya tidak rapi
dalam menyetrika, okelah saya yang mencuci piring dll
Ilustrasi diatas
menggambarkan satu contoh kecil kesetaraan gender dalam bayangan saya. Semua bahagia
menjalankan perannya, mengerjakan pekerjaan rumah tangganya dan mewujudkan
mimpinya. Yang terlihat secara kasat mata dimata saya memang biasa saja. Hanya
setumpuk pekerjaan rumah tangga. Mama dan papa bangun pagi bersama, mama
memasak papa mencuci baju. Mama menghidangkan makanan, sampai akhirnya papa
yang mencuci piring. Mama menyetrika dan menyiapkan pakaian, papa menyapu. Mama
belanja, papa mengantarkan. Dibalik setumpuk pekerjaan rumah tangga itu ada
pemahaman kesetaraan gender yang akan melekat dalam pikiran saya. Bahwa setiap keputusan adalah rasional, bukan berlatar belakang laki-laki dan perempuan. Kesetaraan
gender yang akan bisa diterapkan tidak hanya dalam rumah tangga tapi dalam seluruh sendi
kehidupan dimana pria dan wanita berinteraksi.
Namun
yang perlu disadari adalah mimpi di dunia ini begitu banyak dan kita hanya
memiliki satu tubuh dan 24 jam dalam sehari. Kadang beberapa mimpi tidak bisa kita
wujudkan demi mimpi yang lain. Disitulah saatnya memilih dan membuat skala
prioritas. Menggugurkan beberapa, menyusun dan saling melengkapi mimpi dengan
alasan yang rasional, lebih dari sekedar ‘kamu kan perempuan’.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar