Kamis, 08 Januari 2015

HOME SWEET HOME : Kesetaraan Gender


Nilai yang diturunkan dalam keluarga, menjadi dasar cara berpikir. Dalam mendidik anak dan menjalankan sistem rumah tangga setiap keluarga memiliki ciri khas masing-masing, ada positif dan negatifnya. Salah satu nilai positif yang bisa diambil dari cara papa dan mama menjalankan rumah tangga adalah tentang emansipasi dan kesetaraan gender.

Kesetaraan gender menurut saya bukan soal kerja, mencari nafkah apalagi bertukar peran. Kesetaraan gender lebih tentang mimpi dan aktualisasi diri. Bukankah setiap orang, laki-laki dan perempuan berhak bermimpi dan memenuhi kebutuhan tertingginya yaitu aktualisasi diri? Apa wanita boleh juga menggantungkan cita-cita setinggi langit, dan mencapainya, tanpa dibatasi ‘kamu kan perempuan’. Kebetulan saja mimpi itu banyak yang profesi atau pekerjaan. Selama ini saya berpikir kesetaraan gender yang ada di rumah saya normal dan biasa saja, sampai saya menyadari, melihat kenyataan bahwa banyak laki-laki dan juga perempuan tidak berpikir dan berkomitmen seperti papa dan mama saya.


Dalam salah satu drama korea yang menggambarkan perjuangan sehari-hari dalam karir kantoran pada umumnya (Misaeng / incomplete life). Para pekerja perempuan sering mendapat perlakuan yang kurang menyenangkan dari rekan kerja karena dianggap perempuan kurang loyal dibanding laki-laki, menyusahkan karena lemah, hamil, melahirkan sehingga harus cuti dan membebani rekan kerja. Oleh masyarakat dan ibu mertua dianggap tidak bertanggung jawab terhadap rumah dan anak. Semua beban pekerjaan rumah tangga dan anak secara otomatis dibebankan pada istri. Sehingga istri jadi overwork. Jika suami sebagai partner juga tidak mendukung mimpi dan proses aktualisasi dirinya, mau bergantung kemana lagi seorang wanita?

Kesetaraan gender bermula dari mimpi. Dua individu pastinya punya mimpi masing-masing. Mereka bertemu dan berkomitmen membangun rumah tangga. Ternyata mereka sama-sama memiliki mimpi yang terkait dengan pekerjaan. Semua ingin bekerja membangun karir. Setelah dipikir-pikir mimpi mereka tidak saling bertolak belakang sehingga tidak ada alasan menggugurkan mimpi yang satu demi yang lain. Jadi keduanya berhak mewujudkan mimpinya. Contoh mimpi yang bertolak belakang misalnya yang satu ingin kuliah di luar negeri dan yang satu ingin mengabdi di pedalaman Indonesia.

Setelah membangun rumah tangga, di rumah tentu banyak juga pekerjaan yang harus diselesaikan. Jika semua dikerjakan istri atau suami, tidak cukup waktu baginya mewujudkan mimpinya, atau pekerjaan rumah tangga dan karir jadi selesai tidak maksimal. Kepala rumah tangga akhirnya berkebijakan membagi pekerjaan rumah tangga agar semua punya cukup waktu mewujudkan mimpinya dan semua pekerjaan selesai maksimal. Dengan mempertimbangkan minat, keahlian dan beban kerja akhirnya diputuskan siapa yang memasak, mencuci piring dan baju, menyetrika, menyapu dan lain sebagainya. Perlu diingat bahwa sebelum menikah semua orang bisa melakukan semua itu sendiri untuk diri sendiri. Setelah menikah mereka melakukan untuk berdua bahkan sampai dengan berlima tapi dengan pilihan spesialisasi. Saya dapat pahala dari memasak, saya lebih teliti dalam bersih – bersih, saya tidak rapi dalam menyetrika, okelah saya yang mencuci piring dll

Ilustrasi diatas menggambarkan satu contoh kecil kesetaraan gender dalam bayangan saya. Semua bahagia menjalankan perannya, mengerjakan pekerjaan rumah tangganya dan mewujudkan mimpinya. Yang terlihat secara kasat mata dimata saya memang biasa saja. Hanya setumpuk pekerjaan rumah tangga. Mama dan papa bangun pagi bersama, mama memasak papa mencuci baju. Mama menghidangkan makanan, sampai akhirnya papa yang mencuci piring. Mama menyetrika dan menyiapkan pakaian, papa menyapu. Mama belanja, papa mengantarkan. Dibalik setumpuk pekerjaan rumah tangga itu ada pemahaman kesetaraan gender yang akan melekat dalam pikiran saya. Bahwa setiap keputusan adalah rasional, bukan berlatar belakang laki-laki dan perempuan. Kesetaraan gender yang akan bisa diterapkan tidak hanya dalam rumah tangga tapi dalam seluruh sendi kehidupan dimana pria dan wanita berinteraksi.

Namun yang perlu disadari adalah mimpi di dunia ini begitu banyak dan kita hanya memiliki satu tubuh dan 24 jam dalam sehari. Kadang beberapa mimpi tidak bisa kita wujudkan demi mimpi yang lain. Disitulah saatnya memilih dan membuat skala prioritas. Menggugurkan beberapa, menyusun dan saling melengkapi mimpi dengan alasan yang rasional, lebih dari sekedar ‘kamu kan perempuan’.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar