WARNING :
Jalan-jalan menyebabkan ketagihan
Belakangan ini,
semakin banyak orang yang mengaku traveller
(termasuk aku), nulis tentang traveling
di blog (aku juga) bahkan menerbitkan buku-buku traveling
(bukan aku). Ya bagus sih, semakin banyak orang Indonesia yang suka
jalan-jalan. Karena kalau Indonesia yg seluas, sebagus dan seaneh ini dibiarkan
saja, eman banget..
Menjadi / mengaku traveller sekarang jadi semacam tren. Seperti
tren jadi pendaki sejak 5 cm dan tren hijabers sejak munculnya hijab modis.
Kalau tren traveller sejak kapan?
Menekethehehehehe...
Kalau aku pribadi,
sejak baca buku. The Naked Traveller adalah buku pertama yg membuat ku pingin
banget jalan-jalan. Mengenalkan gagasan melakukan backpacking, menabung
keberanian, menghadapi ketidakpastian,
menertawakan ketidaknyamanan, melipatgandakan keindahan, dan memaknai
perjalanan. Tapi semua masih berbentuk gagasan. Penyebabnya adalah rekan. Aku
belum ketemu pengikut Trinity yang lain. Seberani-beraninya aku gara-gara
Trinity, masih lah takut kalau seorang diri. Apalagi dulu aku nggak
berpengalaman, minimal ada 1 teman sealiran. Lalu aku temukan rekan itu di
Solo. Sebenernya dari Jember juga sih, dia adalah Artha. Thanks to Artha yang sudah jadi semacam korek
yang menyulut bom gagasan yg menumpuk. Artha memang bukan pembaca Naked
Traveller, dan juga nggak sekaliber Trinity, tapi virus travelling sudah menginfeksinya dan aku jelas ketularan. Meski
begitu dia nggak pernah ngaku-ngaku traveller.
Kalau dulu aku cuma
baca pengalamannya orang lain, (Trinity ), sekarang aku punya pengalaman
sendiri, belajar dari pengalaman sendiri , bercerita dan menulis. Pengalaman
adalah guru terbaik, bener banget !!
----------
Titik start menyukai
jalan-jalan pasti berbeda tiap orang. Mulai dari yg dalem sampai yang dangkal.
Ada yg ingin mencari jati diri, mendekatkan diri dengan Pencipta, melipur lara,
menjelajah dunia, mencari tantangan, mengisi waktu luang, seneng - seneng aja,
ikut-ikutan, biar bisa pamer dll. Tapi siapa sih yang nggak suka jalan-jalan?
Kalau ditanya semua juga mau, apalagi dibayarin. Lantas kenapa nggak semua
orang jadi traveller? Di situ lah menurutku bedanya traveller dan bukan.
Pengorbananannya untuk travelling.
- Yang pertama dan utama >> Budget
Travelling
tanpa keluar uang? Mungkin sih tapi kemungkinan kueciiiil. Apalagi buat orang
biasa macam aku. Mau macak jadi nekat traveller yg cuma modal gadget? That
isn't real. Cuma di TV aja. Face the
reality = jalan-jalan butuh uang.
Travelling
pasti masuk kebutuhan tersier. Setelah sandang pangan papan pendidikan pulsa
terpenuhi , kemana kamu anggarkan sisanya? Nongkrong di cafe tiap hari?
Karaokean? Belanja belanji di Mall? Nonton film? Makan makanan mahal/wisata
kuliner yg sekarang lagi populer? Kalau memang traveller, maka sebagian besar
budget harusnya diarahkan untuk jalan-jalan. Aku dulu adalah penggemar film,
menempatkan sensasi nonton film di bioskop sbg yg terbaik. Bahkan dulu pernah
PP jember-surabaya cuma buat weekend nonton Harry Potter di XXI. Kalau sekarang
dipikir, Uang PP dan nonton di weekend udh bisa buat jalan keluar kota, hiks..
Sekarang aku sudah pensiun jadi penunggu bioskop.
Mbak
Trinity pernah bilang ke aku (lewat buku), yg intinya semua orang pasti bisa
jalan-jalan, uang bukan alasan, asal kamu alihkan banyak budget kebutuhan
tersier yg lain ke budget jalan. Pertanyaannya adalah kamu taruh diurutan
keberapa travelling dalam daftar kebutuhan tersiermu?
- Waktu
Ini
quotes bikinanku : 'Libur itu dibuat bukan ditunggu'. Kesibukan, tugas pasti
nggak akan pernah habis. Kalau ditunggu habis ya nggak jadi-jadi jalannya.
Jadi, rencanakan dan prioritaskan.
Pilih
lembur awal atau lembur akhir. Kalau yg sdh kerja, bisa dengan mengumpulkan
cuti. Relakah cutinya dikumpullkan buat waktu travelling?? Relakah waktunya
dipake lembur untuk kejar target yang terpotong waktu jalan-jalan??
Pengorbanan
waktu juga bisa dengan mengambil kesempatan setiap ada yg ngajak travelling ke
tempat yg menarik. Berani menyempatkan waktu untuk jalan-jalan? Mumpung ada
temen jalan :D
- Ijin
Buat
yang masih menadahkan tangan ke orang tua, ijin ini masalah yang serius. Tapi
kalau sudah bisa mengatur budget, 50% masalah ijin sudah teratasi. Kadang
-cenderung sering- orang tua nggak memberi ijin jalan-jalan dengan berbagai
alasan yang kadang -cenderung sering- menurut kita nggak masuk akal. Bukan bemaksud mengajak pada kebohongan, tapi
seberapa berani traveling tanpa restu?
Oke
lah bohong memang nggak bener, tapi kadang "nggak perlu bohong , hanya
nggak perlu bilang ;)"
Tapi
suatu saat perlu juga kita ceritakan pada pemegang otoritas jalan-jalan kita,
kalau kita pernah dan bisa jalan-jalan, dan yang mungkin mereka khawatirkan
sesungguhnya tidak terjadi. Kalaupun terjadi kita bisa mengatasi.
Terus,
apa ini termasuk pengorbanan? Ya, aku rasa sih termasuk. Mengorbankan
perlindungan restu hehe. Berlindung kepada Allah SWT saja lah.. :)
- Last but Not Least >> Kesehatan
Pengorbanan
kesehatan, rasanya kok serem ya. Mana mungkin kita mengorbankan
kesehatan?? Nyatanya sering, bahkan
tanpa alasan. Misal makan junkfood, ngerokok, makan pedes bgt, lembur
terus-terusan dll semacamnya. Gimana hubungannya dengan travelling?
Salah satu contoh. Sekarang kan musim hujan, rawan penykit, apa ya tetep mau keluyuran? Apa ya harus keluyurannya ke tempat yang bikin badan pegel-pegel? Ah, mumpung masih muda. Badan tahan banting. Layu dikit doping vitamin C. Pengorbanan...
Salah satu contoh. Sekarang kan musim hujan, rawan penykit, apa ya tetep mau keluyuran? Apa ya harus keluyurannya ke tempat yang bikin badan pegel-pegel? Ah, mumpung masih muda. Badan tahan banting. Layu dikit doping vitamin C. Pengorbanan...
Memangnya
bener pengorbanan semacam itu? Silahkan nilai sendiri, aku kan cuma bilang nulis.
Terus yang nggak melakukan pengorbanan seperti itu nggak layak disebut traveller? Terserah saja, aku bukan siapa-siapa yang berhak bilang layak atau nggak layak. Lha wong aku juga ngaku-ngaku, MACAK TRAVELLER.
Yang jelas dari sebuah gelar, muncul tanggung jawab -lah kok jadi berat-
Terus yang nggak melakukan pengorbanan seperti itu nggak layak disebut traveller? Terserah saja, aku bukan siapa-siapa yang berhak bilang layak atau nggak layak. Lha wong aku juga ngaku-ngaku, MACAK TRAVELLER.
Yang jelas dari sebuah gelar, muncul tanggung jawab -lah kok jadi berat-
Trinity
pernah bilang ke aku (lewat bukunya), World is
like a book, those who never travel only read one page. Hubungannya apa?
suka aja :p
Oh iya dari tadi mbahas traveller tapi nggak ada definisinya
traveller (noun) : a person who is travelling or who often travels
Oh iya dari tadi mbahas traveller tapi nggak ada definisinya
traveller (noun) : a person who is travelling or who often travels
------------------------------
Selesai nulis, aku
mikir.. Apa inti dan tujuannya tulisan ini? Nggak paham.
I write just because I want to..
I write just because I want to..
gak papa, gak papa 'meskipun apa inti dan tujuan tulisan ini?', aku sukaaa..
BalasHapusdan yg ini aq juga setuju "nggak perlu bohong , hanya nggak perlu bilang ;)"
ha ha ha ;D
hahaha,,, gomapta :D
Hapuspokoknya resiko ketahuan nggak ditanggung ;)
aku sering tuh kalo mau jalan-jalan "nggak perlu bohong, nggak perlu bilang" alias diem aja haha
BalasHapusyah, ijin memang masalah universal hehehe
Hapusfighting !!