Saya sudah membaca
buku negeri 5 menara. Menurut saya bukunya super bagus. Kalau saya beri nilai,
Nilainya sama dengan laskar pelangi. Laskar pelangi penulisannya lebih
unik,menambah wawasan, ceritanya sangat inspiratif, sedih dan tertawa selalu
silih berganti mengaduk emosi. Negeri 5 menara, penulisannya lebih konvensional
, gampang dipahami. 'karena dulu pernah ada yang bilang ke saya kalau nggak
paham laskar pelangi itu ngomongin apa'. Juga berisi cerita yang sangat
inspiratif, lebih menyentuh ranah agama sehingga lebih melekat lama di hati
saya. Saya jadi tertarik dengan Ponpes Modern Gontor, dan ingin menyekolahkan
anak saya kesana 'kelak waktu saya sudah punya anak', gara-gara negeri 5
menara.
Kedua buku favorit
saya itu telah di film kan. Laskar pelangi waktu itu jadi film Indonesia paling
booming. Saya pun menonton di bioskop. Sukses, nyaris seperti bukunya, dari
awal saya sudah nangis. Berganti - ganti menangis dan tertawa. Pulang dari bioskop
dengan mata sembab, seperti habis diputusin cowok :(. Film ke-2 nya, saya
nonton downloadan *hehe maafkan*. Film ini juga bagus, saya masih nangis,
meskipun nggak se WOW yang laskar pelangi. Mungkin karena saya nggak nonton di
bioskop? Tapi waktu itu, secara nasional pun, penonton sang pemimpi tidak
sebanyak laskar pelangi.
Lalu negeri 5 menara
pun mau dibuat film, saya jadi super excited. Saya ingin melihat kehidupan di
dalam Gontor. Sudah tahu kan yang dimaksud pondok madani di negeri 5 menara itu
PonPes Modern Darussalam Gontor Ponorogo?. Setelah mendengar review salah seorang
penggemr negeri 5 menara juga, yang sudah menonton filmnya, saya batal nonton.
Katanya lebih bagus bukunya. Kalau itu sih wajar. Dimana-mana begitu, kecuali
Narnia. Saya tanya, nangis nggak? Nggak. Diapun
bilang filmnya terlalu datar dan dangkal.
Akhirnya, saya
nonton juga. Film negeri 5 menara versi downloadan. Saya juga cukup kecewa
dengan filmnya, yang agak jauh dari keindahan imajinasi saya. Katanya,
sutradara itu bisa membayangkan hal yang sama dengan kita dengan lebih WAH.
Tapi disini tidak.
Beberapa poin
penting disini tidak dimasukkan, jadinya kurang inspiratif. Padahal selain Man
Jadda wa jada, ada banyak petuah inspiratif para ustad. Yang saya tunggu adalah
petuah bagi tahun pertama, entah siapa yang bilang, versi sederhananya : kalau
nggak kerasan, coba dulu setahun, nggak kerasan setahun, coba 2 tahun dst,
sampai 4 tahun'artinya lulus', kalau masih nggak kerasan bolehlah keluar dan
mengabdi di masyarakat. Saya rasa pesan itu penting buat pelajar-pelajar yang
sering mutung di tengah jalan. Apalagi kata-kata itu salah satu yang mengugah
Alif, si pemeran utama untuk terus bertahan. Dari pada terus-terusan
meneriakkan man jadda wa jada, tidak tepat waktu.
Kemudian jajaran
pemainnya kurang sreg di hati saya. Pertama kali, Randai diperankan si kiplih.
Bayangan saya randai itu lebih ganteng. Tapi lama-kelamaan saya terima Randai
bermodel begitu dan aktingnya OK. Dia kan memang veteran.. Ke 2, si Alif
mukanya kok tua sekali. Bukannya mereka kelas 3 SMP ya. Aktingnya juga kurang
menurut saya, padahal dia sebagai peran utama. Terlalu klemar-klemer, terlalu
galau an. Secara keseluruhan, wajah mereka semua terlalu tua, dan aktingnya
kurang dapet. Mungkin karena mereka pemain baru. Tapi laskar pelangi juga
anak-anaknya pemain baru. Untungnya, Baso aktingnya sudah kena, wajahnya juga
kena. Oh ya, yang dari madura kok wajahnya kayak evan dimas U19 ya, hahaha.
Yang ketiga,
pemilihan potongan - potongan yang akan diambil ke film, kurang tepat menurut
saya. Porsi cinta-cinta an nya si Alif dibuat dengan harus mengorbnkan porsi
wawancara tentang pengabdian para ustad di pondok yang bekerja tanpa dibayar.
Padahal harusnya part ini bisa sangat menginspirasi. Bagian menghidupkan
pondok, bukan mencari kehidupan di pondok, juga tidak diteruskan, sayang
sekali. Sistem kedisiplinan yang ada petugasnya dari siswa sendiri 'saya lupa
namanya apa', itu juga tidak dimunculkan, padahal menurt saya sangat unik dan
efektif. Sistem pengajaran bahasa inggris dan arab juga tidak dimunculkan.
Waktu mereka kelas 2 pun, mereka juga tetep aja pakai bahasa Indonesia,
harusnya sudah tidak boleh. Padahal ini poin penting. Mereka belajar bahasa,
karena buku adalah jendela dunia, dan bahasa adalah kunci untuk membuka jendela
itu.
Perjuangan masa
ujian, yang menurut saya dibuku digambarkan dengan sangat bagus, atmosfer ujian
yang positif, di film sama sekali tidak dimunculkan, sungguh sayang sekali. Dan
lagi tag line super besar terkenal dari Gontor, 'ke Gontor apa yang kamu cari?'
tidak di manfaatkan untuk menyalurakan ide bahwa, belajar dan berilmu adalah
kebutuhan manusia, sekolah bukan Cuma tentang ijazah seperti kebanyakan di
zaman sekarang. Jadi, ke gontor cari ilmu apa cari ijazah?
Mungkinkah poinnya
terlalu banyak jadi tidak mungkn muat, dan terpaksa dipangkas? Saya rasa masih
bisa cukup.
- Bagian cinta2 an si alif bisa dikurangi, diganti pengbdian ustad dan menghidupkan pondok.
- Bagian dijewerin ustad karena telat ke masjid diganti dengan scene pencarian nama pelanggar hukum.
- Acara minum susu diganti dengan sistem belajar bahasa. Pembelajaran di kelas atau berbicara dengan ustad, setidaknya bisa pakai bahasa inggris dan arab.
- Dari pada alif galau terus, lebih baik lebih diperlihatkan latar belakang kehidupan Baso, karena dia nanti jadi sumber inspirasi dan nangis-nangisnya.
- Hiruk pikuk perjuangan ujian itu bisa lah dimasukkan beberapa menit, dengan background music yang brrr... Saya rasa disitu letak man jadda wa jada yang tidak terekspos. Dari pada alif latihan pidato. Bagian pidato kan sudah Baso.
Jika nanti akan dibuat film ke -2 nya, Ranah 3 Warna, semoga jadinya lebih bagus, melihat jajaran pemain
dewasanya yang artis beneran, saya cukup berharap. Atau sutradaranya mau
diganti? Bisa jadi.. Bisa jadi..
Saya juga masih
menunggu seri ke-3 film laskar pelangi, Edensor. Mungkin masih mencari
investor, siapa yang mau membiayai keliling eropa dan afrika??
Tidak ada komentar:
Posting Komentar