Minggu, 27 Oktober 2013

Film : Negeri 5 Menara

Saya sudah membaca buku negeri 5 menara. Menurut saya bukunya super bagus. Kalau saya beri nilai, Nilainya sama dengan laskar pelangi. Laskar pelangi penulisannya lebih unik,menambah wawasan, ceritanya sangat inspiratif, sedih dan tertawa selalu silih berganti mengaduk emosi. Negeri 5 menara, penulisannya lebih konvensional , gampang dipahami. 'karena dulu pernah ada yang bilang ke saya kalau nggak paham laskar pelangi itu ngomongin apa'. Juga berisi cerita yang sangat inspiratif, lebih menyentuh ranah agama sehingga lebih melekat lama di hati saya. Saya jadi tertarik dengan Ponpes Modern Gontor, dan ingin menyekolahkan anak saya kesana 'kelak waktu saya sudah punya anak', gara-gara negeri 5 menara.



Kedua buku favorit saya itu telah di film kan. Laskar pelangi waktu itu jadi film Indonesia paling booming. Saya pun menonton di bioskop. Sukses, nyaris seperti bukunya, dari awal saya sudah nangis. Berganti - ganti menangis dan tertawa. Pulang dari bioskop dengan mata sembab, seperti habis diputusin cowok :(. Film ke-2 nya, saya nonton downloadan *hehe maafkan*. Film ini juga bagus, saya masih nangis, meskipun nggak se WOW yang laskar pelangi. Mungkin karena saya nggak nonton di bioskop? Tapi waktu itu, secara nasional pun, penonton sang pemimpi tidak sebanyak laskar pelangi.
Lalu negeri 5 menara pun mau dibuat film, saya jadi super excited. Saya ingin melihat kehidupan di dalam Gontor. Sudah tahu kan yang dimaksud pondok madani di negeri 5 menara itu PonPes Modern Darussalam Gontor Ponorogo?. Setelah mendengar review salah seorang penggemr negeri 5 menara juga, yang sudah menonton filmnya, saya batal nonton. Katanya lebih bagus bukunya. Kalau itu sih wajar. Dimana-mana begitu, kecuali Narnia. Saya tanya, nangis nggak? Nggak. Diapun bilang filmnya terlalu datar dan dangkal.

Akhirnya, saya nonton juga. Film negeri 5 menara versi downloadan. Saya juga cukup kecewa dengan filmnya, yang agak jauh dari keindahan imajinasi saya. Katanya, sutradara itu bisa membayangkan hal yang sama dengan kita dengan lebih WAH. Tapi disini tidak.
Beberapa poin penting disini tidak dimasukkan, jadinya kurang inspiratif. Padahal selain Man Jadda wa jada, ada banyak petuah inspiratif para ustad. Yang saya tunggu adalah petuah bagi tahun pertama, entah siapa yang bilang, versi sederhananya : kalau nggak kerasan, coba dulu setahun, nggak kerasan setahun, coba 2 tahun dst, sampai 4 tahun'artinya lulus', kalau masih nggak kerasan bolehlah keluar dan mengabdi di masyarakat. Saya rasa pesan itu penting buat pelajar-pelajar yang sering mutung di tengah jalan. Apalagi kata-kata itu salah satu yang mengugah Alif, si pemeran utama untuk terus bertahan. Dari pada terus-terusan meneriakkan man jadda wa jada, tidak tepat waktu.

Kemudian jajaran pemainnya kurang sreg di hati saya. Pertama kali, Randai diperankan si kiplih. Bayangan saya randai itu lebih ganteng. Tapi lama-kelamaan saya terima Randai bermodel begitu dan aktingnya OK. Dia kan memang veteran.. Ke 2, si Alif mukanya kok tua sekali. Bukannya mereka kelas 3 SMP ya. Aktingnya juga kurang menurut saya, padahal dia sebagai peran utama. Terlalu klemar-klemer, terlalu galau an. Secara keseluruhan, wajah mereka semua terlalu tua, dan aktingnya kurang dapet. Mungkin karena mereka pemain baru. Tapi laskar pelangi juga anak-anaknya pemain baru. Untungnya, Baso aktingnya sudah kena, wajahnya juga kena. Oh ya, yang dari madura kok wajahnya kayak evan dimas U19 ya, hahaha.

Yang ketiga, pemilihan potongan - potongan yang akan diambil ke film, kurang tepat menurut saya. Porsi cinta-cinta an nya si Alif dibuat dengan harus mengorbnkan porsi wawancara tentang pengabdian para ustad di pondok yang bekerja tanpa dibayar. Padahal harusnya part ini bisa sangat menginspirasi. Bagian menghidupkan pondok, bukan mencari kehidupan di pondok, juga tidak diteruskan, sayang sekali. Sistem kedisiplinan yang ada petugasnya dari siswa sendiri 'saya lupa namanya apa', itu juga tidak dimunculkan, padahal menurt saya sangat unik dan efektif. Sistem pengajaran bahasa inggris dan arab juga tidak dimunculkan. Waktu mereka kelas 2 pun, mereka juga tetep aja pakai bahasa Indonesia, harusnya sudah tidak boleh. Padahal ini poin penting. Mereka belajar bahasa, karena buku adalah jendela dunia, dan bahasa adalah kunci untuk membuka jendela itu.
Perjuangan masa ujian, yang menurut saya dibuku digambarkan dengan sangat bagus, atmosfer ujian yang positif, di film sama sekali tidak dimunculkan, sungguh sayang sekali. Dan lagi tag line super besar terkenal dari Gontor, 'ke Gontor apa yang kamu cari?' tidak di manfaatkan untuk menyalurakan ide bahwa, belajar dan berilmu adalah kebutuhan manusia, sekolah bukan Cuma tentang ijazah seperti kebanyakan di zaman sekarang. Jadi, ke gontor cari ilmu apa cari ijazah?

Mungkinkah poinnya terlalu banyak jadi tidak mungkn muat, dan terpaksa dipangkas? Saya rasa masih bisa cukup.
  1. Bagian cinta2 an si alif bisa dikurangi, diganti pengbdian ustad dan menghidupkan pondok.
  1. Bagian dijewerin ustad karena telat ke masjid diganti dengan scene pencarian nama pelanggar hukum.
  1. Acara minum susu diganti dengan sistem belajar bahasa. Pembelajaran di kelas atau berbicara dengan ustad, setidaknya bisa pakai bahasa inggris dan arab.
  2. Dari pada alif galau terus, lebih baik lebih diperlihatkan latar belakang kehidupan Baso, karena dia nanti jadi sumber inspirasi dan nangis-nangisnya.
  3. Hiruk pikuk perjuangan ujian itu bisa lah dimasukkan beberapa menit, dengan background music yang brrr... Saya rasa disitu letak man jadda wa jada yang tidak terekspos. Dari pada alif latihan pidato. Bagian pidato kan sudah Baso.

Jika nanti akan dibuat film ke -2 nya, Ranah 3 Warna, semoga jadinya lebih bagus, melihat jajaran pemain dewasanya yang artis beneran, saya cukup berharap. Atau sutradaranya mau diganti? Bisa jadi.. Bisa jadi..

Saya juga masih menunggu seri ke-3 film laskar pelangi, Edensor. Mungkin masih mencari investor, siapa yang mau membiayai keliling eropa dan afrika??

Tidak ada komentar:

Posting Komentar